TENTUKAN ANGKA CUKUPMU, MAKA AKAN DATANG RASA SYUKURMU

Bismillahirrahmanirrahim. In the name of Allah, the Most Merciful, the Most Beneficent.Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Tulisan ini sebelumnya telah lama saya buat, tepatnya setelah mengikuti diskusi online yang diisi oleh beliau. Mungkin itu juga menjadi momen pertama kali saya mengetahui beliau, dengan lika liku kehidupan bisnis beliau. InsyaAllah akan saya sempurnakan tulisan ini menjelang H-1 Musyawarah Komisariat KAMMI UM ke XVII.

Qodarullah, pada 16 Februari 2019 beliau menjadi pemateri seminar yang saya dan temen-temen perempuan KAMMI UM sedang garap. Ternyata pertemuan di 16 Februari kala itu masih belum begitu mampu menjawab pertanyaan besar yang ada di otak saya. Mungkin, karna terkendala waktu yang mepet dengan banyaknya rentetan acara hari itu, juga saya yang terlalu riweh fikirannya sehingga tidak fokus menangkap ilmu dan pengalaman yang beliau sampaikan. Alhamdulillah sepekan kemudian, saya dan dua teman saya Allah beri kesempatan dan waktu untuk kembali mengambil manfaat dari pengalaman beliau dalam kajian Ngaji Bisnis di Kediri. Yang kemudian insyaAllah akan saya bagikan ke teman-teman semua dalam tulisan ini.

Namun saya hanyalah seorang manusia yang baru belajar menulis, yang tentu masih perlu dan butuh banyak koreksi membangun dari berbagai pihak..

TENTUKAN ANGKA CUKUPMU, MAKA AKAN DATANG RASA SYUKURMU!!

Indah2

Tak ada satupun orang di dunia ini yang tidak ingin menjadi sukses. Semua mengejar kesuksesan. Bahkan mereka mengorbankan banyak hal untuk kesuksesan tersebut. Rela bekerja dengan susah payah, belajar di sekolah bertahun-tahun. Baik akal, fisik, maupun jiwa dikerahkan untuk sebuah kata “sukses”.

Tapi, apa sebenarnya makna sukses tersebut? Jangan-jangan selama ini kita hanya mengejar suatu hal namun belum tau sepenuhnya tentang hal yang kita kejar tersebut.

“Sukses itu jika majunya usahamu menjadi kesejahteraan karyawan dan orang-orang di sekitarmu” begitu seorang Bagas memaknai suksesnya.

Jadikanlah bisnismu menjadi jembatan rejeki bagi orang lain, bukan mesin untuk membangun kerajaanmu. Jika setiap orang mengambil jatah cukupnya untuk hidup sejahtera, tak ada kemiskinan di dunia ini. Masalahnya, manusia memiliki sikap rakus melebihi angka cukup sejahteranya. Hingga mengambil “jatah cukup” orang lain. Paham kapitalis pun seakan menjadi sebuah kewajaran dalam berbisnis, yang penting mereka untung sebesar-besarnya, nilai saham mereka naik.

Kita lanjutkan, bagaimana idealnya suatu proses kesuksesan itu dijalani. Jika pemahaman akan makna sukses sudah salah, maka prosesnya pun kemungkinan akan sesat.

Jika makna sukses adalah materi; mobil, rumah mewah, harta berlimpah, popularitas, maka “angka cukup” tak akan pernah tercapai. Anggapan rejeki pun adalah hasil dari ikhtiar. Keserakahan akan menjadi fondasi bisnisnya. Jangan harap ada keberkahan di prosesnya. Saat tiap jengkal langkah bisnis kita menjadi rahmat bagi sekitar, baik dalam kondisi untung (materi) ataupun rugi.

Saat “agak miskin”, biasanya seorang calon pengusaha punya cita-cita yang mulia. Setelah “dilimpahkan” rejeki, apalagi salah pilih idola/motivator di media sosial, bergeserlah makna sukses. Bukan lagi menjadi jembatan rejeki, tapi sukses “dinilai” orang lain. Pengin ini dan itu, agar seperti dia dan menunjukkan “Siapa Aku”.

Karena sedekah adalah kunci, maka keberkahan yang paripurna adalah “Menjadi rahmat bagi alam semesta”, bukan hanya bagi manusia saja, namun juga tumbuhan, binatang, mikroba, dan makhluk Allah lainnya.

Ketika sukses sudah dimaknai sebagai menjadi jembatan rejeki bagi orang banyak, maka  saat kamu mendidik karyawanmu dari nol hingga mandiri, itu adalah sedekah. Bahkan sedekahmu lebih dari sekadar uang, tapi ilmu yang bermanfaat. Sehingga mereka yang tadinya penerima zakat, menjadi pembayar zakat. Kesabaranmu dalam menghadapi ‘drama’ mereka menjadi amalan tambahan bagimu. Perbanyaklah sedekah, karna sedekah adalah kunci.

Terakhir, saya memang baru pertama kali ke Kediri, tempat Bagas memulai bisnisnya walau belum sempat berkunjung ke markas sejihad FCK milik beliau. Yang membuat hati ini terikat, bukanlah pencapaian luar biasa usaha beliau saat ini. Namun, di tengah kultur kapitalis yang menjamur di Negeri ini, tak mengubah “kesederhanaan” beliau.

Saya belajar banyak dari beliau, yang saat mengisi kajian saat itu tak menggunakan alas kaki. Saya berbicara dalam hati saat itu “Mungkin terlalu riweh kali ya sampe tidak sempat memakai sepatu”. Eh ternyata dugaan saya salah “Maaf ya saya cekeran (tidak menggunakan alas kaki) karna tadi saya kesini memakai sandal swallow dan sungkan sama teman-teman yang sudah rapi (karna saat itu hampir semua peserta kajian menggunakan sepatu rapi)”. Saat itu juga pertanyaan besar saya mulai terjawab pelan-pelan, yaitu bagaimana beliau memaknai sukses dalam hidup beliau?

Beliau yang usahanya sudah memasuki kancah internasional harusnya mampu bergaya hidup mewah, namun ternyata sikap sederhana dan pemurah beliau melebihi kebanyakan orang biasa yang “ingin terlihat kaya padahal masih minta dana dari orang-tua”.

Saya suka memperhatikan hal-hal kecil. Karna ketulusan sering tak nampak dari “proyek mercusuar”, tapi dari hal-hal kecil yang membuat perbedaan besar. Istiqomah dalam “melayani” justru akan menaikkan derajat kita. []

Ditulis oleh Indah Wulandari

Tinggalkan komentar